Beranda | Berita Utama | White Crime | Cyber Crime | EkBis | Opini | INDEX Berita
Eksekutif | Legislatif | Gaya Hidup | Selebriti | Nusantara | Internasional | Lingkungan
Politik | Pemilu | Peradilan | Perdata| Pidana | Reskrim
Peradilan    
Jiwasraya
Jaksa Tuntut Beni Tjokro Seumur Hidup. Penasehat Hukum: Tuntutan Jaksa Hanya Asumsi
2020-10-16 18:47:56
 

Pengacara Bob Hasan, Beni Tjokro dan Muchtar Arifin pada saat sidang di Pengadilan Tipikor ( Foto: Istimewa)
 
JAKARTA, Berita HUKUM - Sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana korupsi di PT Asuransi Jiwasraya (Jiwasraya) dengan terdakwa Direktur Utama PT Hanson International Tbk (MYRX) Benny Tjokrosaputro dan Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat, kembali digelar dengan agenda tuntutan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (15/10).

Dalam tuntutan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Heru Hidayat dengan hukuman pidana penjara seumur hidup, sama seperti Benny Tjokro. Karena Benny dan Heru telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi senilai Rp.16 triliun, bersama-sama dengan tiga orang mantan pejabat Asuransi Jiwasraya, yang sebelumnya juga sudah divonis dengan hukuman seumur hidup.

"Menjatuhkan pidana penjara seumur hidup denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun kurungan. selain itu, terdakwa juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 6.078.500.000.000," ujar JPU dengan lantang dimuka persidangan, yang dipimpin Majelis hakim Rosmina, pada Kamis (15/10) malam.

Menurut Jaksa, Benny telah melanggar Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Selain itu, Benny Tjokro dan Heru Hidayat kata Jaksa, keduanya telah terbukti bekerjasama mengendalikan saham dengan cara tidak wajar.

"Terdakwa Heru Hidayat bersama saudara Benny Tjokro melakukan kesepakatan dengan menjual membeli saham untuk menaikan harga saham-saham tertentu seperti SMRU, IKP, Tram, dan MRYX yang dikendalikan oleh anak buahnya. Sehingga harga saham mengalami kenaikan, seolah-olah sesuai permintaan yang wajar. Padahal semuanya sudah diatur oleh pihak-pihak tertentu. Karena setelah harga saham-saham itu naik, mereka menjualnya PT Asuransi Jiwasraya," ungkapnya.

TPPU

Selain itu, Benny Tjokro dan Heru Hidayat juga dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Jaksa meyakini Benny dan Heru menyembunyikan hartanya dengan membeli aset. Tindakan pencucian uang yang dilakukan keduanya itu disamarkan dengan membeli tanah hingga jual beli saham. Itu dilakukan dengan bekerja sama dengan sejumlah pihak.

"Oleh karena itu, kami berpendapat unusr menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain telah terbukti," kata JPU seraya mengatakan, Benny dan Heru juga melanggar Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Asumsi Jaksa

Usai persidangan, Bob Hasan selaku penasehat hukum Benny Tjokro menyatakan bahwa tuntutan Jaksa tersebut hanya berdasarkan asunsi. Karena secara prosedural hukum, tuntutan itu tidak jelas dan tidak berdasarkan fakta-fakta dan kaidah hukum yang ada. Sebeb mereka tidak memeriksa bukti-bukti dan disingkronkan dengan keterangan para saksi dan isi persidangan dengan benar.

"Saya berkeyakinan bahwa jaksa itu tidak memeriksa bukti dengan betul. Karena saya juga tidak bisa menyampaikan satu dan hak lainnya, terkait dengan isi pada saat persidangan berlangsung,"ujar Bob Hasan kepada wartawan di pelataran Pengadilan pada Kamis (15/10) malam.

Lebih lanjut Bob menyatakan bahwa tuntutan jaksa telah keliru. Karena dia menyatakan bahwa Beni Tjokro punya saham Bitex, punya saham Rimo, lalu saham Roda, dan sebagainya. Oleh sebab itulah Bob katakan tuntutannya hanya asumsi, dan merupakan kesalahan, yang dapat dikatagorikan sebagai malfunction.

"Artinya sudah tidak bisa dilakukan, karena kalau dianggap apa yang dilakukan dengan adanya saham-saham itu, menurut jaksa adalah kepunyaan milik Beni Tjokro. Berarti apa yang sudah dia salurkan tersebut merupakan kesalahan, ungkap Bob seraya bertanya, karena apa?

Karena semua orang selaku insan-insan pasar modal, Kata Bob pasti sudah ngerti dan mengetahuinya. Bahwa saham-saham itu bukan punya Beni Tjokro, tetapi milik dan kepunyaan orang lain.

Kendati demikian, Jaksa tetap memaksakan menuntut Beni Tjokro dengan hukuman seumur hidup. Namun Bob tetap optimis, karena menurutnya majelis hakim masih mempunyai hati nurani dalam memeberikan putusannya nanti.

"Saya tidak yakin kalau majelis hakim sependapat dengan tuntutan jaksa. Karena saya yakin Beni Tjokro itu tidak akan divonis seumur hidup, sama sepeti yang lainnya," ucapnya dengan nada tinggi seraya mengatakan bahwa dirinya yakin 100 persen.

Sebab Bob tidak yakin vonis hakim kepada kliennya Beni Tjokro sama dengan terdakwa lainnya, seumur hidup. Karena berdasarkan fakta persidangan, jauh berbeda dengan tuntutan jaksa, yang seumur hidup itu.

"Fakta persidangan selalu disampaikan, dan setiap saksi mengatakan Bitex itu bukan punya Beni. Demikian juga saham Rimo dan Roda, juga bukan punya Beni," ungkap Bob sembil menyerukan, kalau anda tidak percaya, ayo cek ke pasar modal.

Bob juga merasa heran dan bingung, karena apa dasarnya jaksa mengatakan saham Bitex, dan yang lainnya itu punya Beni Tjokro. Kenapa bisa terjadi seperti ini, apa dasarnya? ujar Bob setengah emosi karena kesal, dengan mengatakan hampir semua isi daripada tuntutan Jaksa itu asumsi belaka.

Selain itu kata Bob, mereka katakan ada transaksi dengan membeli aset-aset tanah dan yang lainnya itu semua adalah asumsi, karena tidak ada dasarnya. Sebagai aparat penegak hukum, seharusnya jaksa membuktikan terlebih dahulu, terkait aliran dananya di PPATK.

"Seharusnya jaksa bisa buktikan dapat darimana dananya, kemudian ditempatkan dimana uangnya, karena tuntutannya itu TPPU. Nah, dalam hal ini, Jaksa bisa tidak membuktikannya. Karena dia cuma bilang adanya transaksi itu karena akibat daripada hasil kejahatan," katanya.

Menurut Bob, saat ini ada PPATK. Tapi kenapa PPATK tidak bisa mendeteksi uang itu berasal dari mana dan segala macamnya, ujung-ujungnya dilarikan dan disamar-samarkan. Karena klien kanu Beni Tjokro ini, pada tahun 2016 membeli sahamnya sendiri di Jiwasraya melaui nomine-nominenya.

"Jadi jelas sudah, bahwa tuntutan jaksa terhadap Beni Tjokro ini hanya berdasarkan asumsi-asumsi saja. Karena kalau dia periksa semua emiten-emiten dan para pemilik saham itu, pasti akan terungkap dengan jelas siapa yang salah dibalik kasus korupsi Jiwasraya ini," tegasnya.

Realitanya, yang terjadi saat ini, semua saham dan emiten itu dipaksakan menjadi miliknya Beni Tjokro. Mereka tidak pernah mau memeriksa kepada pemilik yang sesungguhnya, ucap Bob sambil tersenyum simpul dengan bertanya, kenapa?

Lebih lanjut, Bob mengakui bahwa memang benar ada kerugian di perusahaan asuransi plat merah tersebut. Tetapi perbuatannya bukan karena apa yang dibilang valuasi, atau harga tinggi tersebut, ujarnya sambil mengungkapkan bahwa sahamnya milik Beni Tjokro itu cuma 2 persen di Jiwasraya.

"Sahamnya itu LQ-45 dari tahun 2016-2019, tiga priode dan saham lQ-45 itu liquit," ujar Bob sambil bertanya lagi, kenapa sahamnya Beni Tjokro itu liquit dan tidak bisa dijual. Karena saham-saham itu Repo semuanya, ungkapnya.

Terkait hal itu, Bob merasa kecewa dengan kinerja penyidik dan penuntut umum yang nota banenya dari Kejaksaan tersebut. Karena kenapa jaksa tidak mau membuka dan membongkar tabir gelap yang menutupi kasus jiwasraya ni.

"Kenapa jaksa tidak membukannya, padahal pak Beni Tjokro juga sudah membukannya. Dalam hal ini, sebenarnya sudah jelas, karena Pak Beni menjual saham tersebut kepada Pak Heru, lalu Pak Heru menjual lagi ke Jiwasraya. Semua saham itu diperlakukan dengan sama,"tandas Bob sambil mengatakan kalau pemeriksaan dan penyidikannya seperti ini negara rugi.(bh/ams)



 
   Berita Terkait >
 
 
 
ads1

  Berita Utama
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan

Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah

Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua

 

ads2

  Berita Terkini
 
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?

5 Oknum Anggota Polri Ditangkap di Depok, Diduga Konsumsi Sabu

Mardani: Hak Angket Pemilu 2024 Bakal Bikin Rezim Tak Bisa Tidur

Hasto Ungkap Pertimbangan PDIP untuk Ajukan Hak Angket

Beredar 'Bocoran' Putusan Pilpres di Medsos, MK: Bukan dari Kami

ads3
 
PT. Zafa Mediatama Indonesia
Kantor Redaksi
Jl. Fatmawati Raya No 47D Lt.2
Cilandak - Jakarta Selatan 12410
Telp : +62 21 7493148
+62 85100405359

info@beritahukum.com
 
Beranda | Tentang Kami | Partner | Disclaimer | Mobile
 
  Copyright 2011 @ BeritaHUKUM.com | V2